JOKOWI: Modifikasi Politisi Borjuasi Masa Kini

Melihat sosok Jokowi saat ini tidak bisa lepas dari pengalaman bekerja sebagai Walikota Solo. Jokowi terpilih 2 kali berturut-turut dalam pilkada Surakarta pada tahun 2005 dan tahun 2010. Lalu dimanakah letak istimewa seorang Jokowi sehingga sampai terpilih dua kali berturut-turut bahkan pada pilkada tahun 2010 Jokowi mendapatkan dukungan sampai dengan 90.09% warga Solo. Angka ini adalah angka yang fantastis yang diperoleh dalam pilkada di Indonesia.
Secara politik Jokowi memang mampu meletakan dirinya sebagai tokoh yang diperhitungkan dalam kancah politik lokal saat itu. Kehadiran Jokowi mampu memberikan sosok alternatif tokoh politik yang ada saat itu dan mampu memecah frustasi publik tentang kinerja pemerintah lokal kala itu. Sejumlah manuver proyek mercusuar dibangun seperti city walk memanjang di Jalan Slamet Riyadi yang menjadi Jalan utama di kota solo. Selain itu relokasi pedagang kaki lima dan penataan kota tanpa protes dan penggusuran paksa inilah yang membedakan sosok Jokowi saat ini dengan beberapa tokoh kepala daerah yang lain di Indonesia.
Namun tentu saja hal ini tidak cukup untuk melihat bagaimana sosok Jokowi yang sebenarnya. Sebagai tokoh politik kita harus melihat mesin politik yang Jokowi gunakan, dalam hal ini partai politik yang digunakan oleh Jokowi, yakni PDIP. Banyak hal yang akan terbahaskan jika kita bicara mengenai infrastruktur politik Indonesia seperti parpol atau partai politik. Setidaknya sebagai seorang kader dari sebuah partai ada beberapa hal yang diangkat dan disesuaikan oleh platform partai. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah bisa seorang kader melawan arus yang ada di partai dan berdiri independen baik dalam gagasan dan tindakan?
Keterkaitan dengan parpol di Indonesia yang cenderung mengangkat nilai-nilai lama dan cenderung konservatif tentu akan membatasi sikap para kader yang hendak berkarakter progresif. Tentu akan ada batas-batas ataupun syarat, karena ini adalah politik yang cenderung pragmatis dan taktis. Kemenangan politik adalah kemenangan yang harus dilipatgandakan sehingga akan mampu menjamin keberlangsungan kursi politik itu sendiri. Apakah sosok Jokowi akan mampu bekerja dalam kondisi seperti itu dan berjuang untuk rakyat yang selama ini dia dengung-dengungkan?
Tentu saja manuver yang selama ini dilakukan secara individual oleh Jokowi adalah menjadi hal yang sangat dinantikan oleh rakyat. Permasalah yang paling mendasar seperti ekonomi misalnya, relokasi pedagang kaki lima tanpa protes dan revitalisasi pasar tradisional menjadi program favorit masyarakat ekonomi lemah. Penataaan kota yang dibikin apik jelas akan menarik juga bagi para investor. Apalagi slogan dari kota solo yakni “Berseri tanpa korupsi”, seakan-akan Jokowi adalah satu-satunya penjawab dari segala permasalah rakyat.
Di paragraf sebelumnya saya mengatakan manuver individual Jokowi, kenapa? Jika memang ini adalah instruksi dari mesin politiknya Jokowi kenapa daerah lain yang Pilkada dimenangkan oleh PDIP kondisinya jauh berbeda dengan Solo dengan Jokowi? Bagaimana dengan Semarang misalnya dimana walikotanya sedang terjerat kasus Korupsi? Bagaimana dengan pertengkaran antara Gubernur Jateng Bibit Waluyo dengan Jokowi tentang bekas pabrik es sari petojo? Terlepas dari fungsi rekrutmen semua parpol (yang secara umum di Indonesia) yang gagal, saya tidak melihat dengan jelas garis politik dari partai yang harus dijalan secara konsekuen oleh setiap kadernya.
Saya melihat seperti ada yang terputus disini, namun pragmatisme politik dan simbiosis mutualisme antara Jokowi dan PDIP membuat hubungannya tetap langgeng dan bahkan PDIP akan membawa Jokowi ke Batavia (baca: Jakarta). Bahkan analagi umum yang mengatakan bahwa kemenangan politik lokal di ibu kota adalah kemenangan politik nasional sepertinya adalah satu hal yang sangat diimani oleh parpol di Indonesia.
Euforia Jokowi-isme ini saat ini semakin terasa di tingkat nasional paska pilkada putaran pertama di DKI yang mengunggulkan Jokowi dan Ahok. Dari yang saat ini kita lihat di media, baik cetak, elektronik dan sejumlah social media, aktivis-aktivis anti korupsi dan aktivis yang lainnya pun ikut serta dalam mendukung kontestasi politik Jokowi di Jakarta. Bahkan saat ini yang di citrakan adalah kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat.Ini sepertinya akan menjadi satu hal yang prematur. Terus terang saat ini kanal-kanal kesadaran politik massa jakarta (pemilu dan pilkada) dan segelintir aktivispun mengalir ke Jokowi.
Politik Jakarta tidak hanya Politik Jokowi semata, harus dirubah dalam melihat secara lengkap. Namun model Jokowi harus diakui sebagai model politikus yang lahir paska politik pencitraan ala SBY yang mulai naik menjelang 2004 yang saat ini sudah dirasa usang dan tak berguna. Modifikasi yang dilakukan oleh Jokowi adalah bentuk sempurna dari pencitraan yang sekedar lipservice. Namun seberapa efektif model politikus ala Jokowi ini bagi kesejahteraan rakyat? Apakah ini akan bermuara ke kesejahteraan rakyat atau ini mozaik pemilu 2014. Semoga kita tidak gagap melihat fenomena ini, saya yakin politik massa adalah hal yang dinamis dan akan terus bergerak.
Terima kasih.
*) Tulisan ini adalah tulisan pendapat pribadi tidak ada maksud unsur menghina karena ditujukan bagi diskusi ilmiah semata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jakarta: Imajinasi mimpi atau kekejaman modal ?

TANTANGAN MASA DEPAN ADVOKAT

Antara SBY, BBM dan Rakyat.